Bumi Manusia, walaupun di tutup setelah sekitar satu jam. Jadi sebuah pelarian yang sempurna dari kemacetan Bandung sore hari. Menemukan karakter – karakter baru, cara pandang baru, althought itu hanya dari sebuah cerita dengan latar belakang pra kemerdekaan. But, its hit heads awkwardly.
Hitted (atau hitting gitu yak?) heads karena, adat-adat yang di tulis sama Pram di buku itu, lingkaran hukum sosial antar manusia di Indonesia, sekat – sekat kepatutan antar kelas dalam kehidupan (juga di Indonesia). Toh, sampai sekarang masih di pakai dan di aplikasikan dengan nyaman di kebanyakan masyarakat kita.
Lepas dari Nyai Ontosoroh yang menjadi wakil Pram untuk mengatakan kepada dunia, bagaimana cara pandang masyarakat Indonesia kepada seseorang, seseorang dengan kesalahan, dengan satu atau banyak titik hitam “If you a sinner you just a sinner, mistake is a mistake, don’t try to fall behind them”. Atau Minke, yang ingin mendobrak – dobrak semua itu. Ada semangat baru yang gak tahu dari tokoh yang mana datangnya.
Semangat, mungkin itu, iyah, itu, cuma semangat. Yang harusnya sekarang di pupuk terus. Nge-maximize apapun yang mungkin bisa di jadikan senjata untuk -mencoba- menang. Sebaik – baiknya.
Dan ini kutipan dari backcover-nya, yang -mengkin- bisa bikin kita lebih berani lagi, berani mimpi, berani melawan keadaan, berani tampil walaupun kita nggak pernah tahu di terima atau enggak, bagus atau enggak. Berani menjadi orang – orang seperti di Bumi Manusia.
“Kita kalah, Ma” Bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-sebaiknya. Sehormat – hormatnya“